HADITS-HADITS
DHAIF SEPUTAR RAMADHAN
Menjelang
bulan suci Ramadhan, kita perlu menyiapkan fisik, mental, dan keilmuan dalam
menyambutnya. Kesiapan fisik dengan menjaga kebugaran tubuh atau berkonsultasi
ke dokter bagi yang mengalami sedikit problem dalam tubuhnya. Kesiapan mental
berupa penataan hati agar gembira menyambutnya. Terakhir, kesiapan ilmu dengan
memahami fiqih puasa dan hukum-hukumnya.
Menyiapkan
poin terakhir tidak hanya bagi masyarakat awam, tapi juga bagi para ustadz, dai
atau muballigh. Mereka harus membekali diri dengan pengetahuan yang optimal
seputar hukum puasa, agar dalam menyampaikan materi dakwah berdasarkan ilmu dan
analisa. Sebab, pada kenyataannya, para dai banyak yang kurang teliti dan
hati-hati dalam menyampaikan ilmunya. Contoh yang dikritisi pada artikel ini
adalah dalam masalah mengutip hadits Nabi saw.
Telah
dimaklumi kegigihan para ulama hadits (Muhadditsin) dalam menghimpun hadits
Rasulullah saw dan membukukannya merupakan sumbangsih terbesar setelah
pembukuan Al-Qur’an. Sebab, Hadits
Nabawi adalah referensi hukum kedua setelah kitabullah. Para muhadditsin dengan
metodologi yang sangat cermat dan teliti berusaha mensterilkan big project
mereka dari virus-virus hadits maudhu’ dan dhaif agar sunnah Nabawiah tetap terpelihara keotientikannya.
Pada
bulan Ramadhan, ternyata para da’i
kita tanpa disadari banyak menyepelekan jerih payah para muhadditsin di atas.
Mereka tanpa beban kerap mensitir hadits-hadits dhoif bahkan maudhu’ tanpa
mengklarifikasi derajat haditsnya. Pada akhirnya hadits-hadits tersebut begitu
mudahnya diterima oleh masyarakat kita.
Pertama Contoh kasus seperti
doa, ”Allohumma barik lana fi Rojaba wa Sya’bana wa balligna Romadhona.”(HR.
ahmad, At-Tobroni, Al-Bazzar dan Al-Baihaqi). Hadits ini ternyata sangat lemah. Ia diriwayatkan hanya melalui satu jalur saja
yaitu dari Zaidah bin Abiroqqod. Ia adalah sumber cacat hadits ini. Imam
Al-Bukhori, An-Nasa’I dan Ibnu Hajar menyebutnya sebagai mungkarul hadits
artinya seorang yang amat fatal kesalahannya, pelupa, dan jelas kefasikannya. Setidaknya para dai bila ingin terus memakai
doa ini, hendaklah tanpa menisbatkannya kepada Rasulullah saw atau sebagai
pelajaran dengan menyertakan derajat haditsnya.
Tentu itu lebih selamat. Demikian menurut Imam Ibnu Hibban.
Hadits
Kedua “permulaan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya magfiroh dan
penghabisannya adalah pembebasan dari neraka.” (HR. Addailamy dan Ibnu
‘Asakir). Ungkapan yang sangat masyhur ini selalu didengungkan oleh para dai
tapi sedikitpun mereka tidak pernah menyertakan kualitas haditsnya. Menurut
Imam As-Suyuti dan al-Hafizh Ibnu Hajar, hadits ini amat lemah. Sedang menurut Syeikh
Albani, hadits
ini mungkar. Otak masalahnya adalah karena terdapat dua orang perawi yaitu
Sallam bin Sawwar dan Maslamah Bin Al-Salt. Perawi pertama adalah seorang mungkarul
hadis menurut Ibnu ‘Adi. Adapun Imam Khotib Al-Bagdadi menegaskan tidak boleh
berhujjah dengan haditsnya. Adapun Maslamah juga setali tiga uang dengan
Sallam bin Sawwar.
Berpedoman
dengan hadits mungkar di atas, otomatis menyetujui klasifikasi Ramadhan menjadi
3 bagian, padahal Ramadhan tidak mengenal pengklasifikasian seperti itu
(rahmat, magfiroh, dan pembebasan dari neraka). Ramadhan adalah bulan yang
menghimpun tiga keutamaan itu dari awal sampai akhirnya.
Ketiga:
”Sedekah paling baik adalah bersedekah pada bulan Ramadhan.” Hadits yang
sebenarnya panjang ini diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Al-Baihaqi dari jalur
Sodaqoh bin Musa. Imam Abu Hatim menganggapnya terlalu lunak walaupun haditsnya
ditulis tapi tidak bisa dipakai berdalil. Imam Tirmizi sendiri memiliki komentar miring
terhadap Sadaqoh. Alangkah baiknya para dai dan penceramah tidak menggunakan
hadits ini sebagai dalil kecuali bila disertai dengan menyebut komentar para
ulama.
Keempat yang tak kalah masyhur,
”Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, ”seandainya
ummatku mengetahui pahala ibadah bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan
agar Ramadhan menjadi satu tahun penuh.” Hadits yang dikutip oleh Syaikh Usman
al-Khubari dalam kitabnya, Durroh An-Nasihin, sebuah kitab yang banyak
dikritik oleh para muhadditsin karena kandungan hadits-hadits lemah, palsu, dan
kisah-kisah imajinatif (DR. Luthfi Fathullah telah menghimpun semuanya menjadi
sebuah buku).
Hadits
yang sebenarnya panjang ini diriwayatkan
oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, Al-Baihaqi dan Abu ya’la. Matannya berisi
janji muluk-muluk diantaranya bahwa siapapun yang berpuasa Ramadhan sehari, ia
akan beristrikan seorang bidadari dengan diskripsi yang sangat elok. Secara
keseluruhan terdapat musykil di dalam hadits ini, baik dari segi matan dan sanadnya.
Dalam sanadnya terdapat Jarir bin Ayyub Al-Bajali yang oleh Imam Ibnu Jauzi
dinilai pemalsu hadits, matruk dan mungkar. Tiga predikat tadi memperparah derajat
hadits ini. Ibnu
Hajar di dalam Lisanul Mizan menilai
Jarir masyhur dengan kelemahannya. Sebenarnya
Imam Ibnu Khuzaimah pun ragu akan keshahihannya. Terbukti beliau menambahkan
catatan “jika hadits
ini shahih”, setelah menulisnya.
Kelima,
Ungkapan yang paling rada aneh lalu dianggap hadits adalah, ”Tidurnya orang berpuasa itu
ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya berlipat ganda, doanya makbul, dan
dosanya diampuni.” (HR. Al-Baihaqi) Kalimat
pertama kerap dijadikan dalih bagi para pemalas yang menghabiskan waktunya
dengan tidur-tiduran. Adapun kalimat berikutnya tak pernah disebut-sebut. Oleh Imam Al-Baihaqi sendiri, beliau menilai
hadits ini dhoif karena
terdapat Ma’ruf bin Hisan dan Sulaiman bin Amr Al Nakha’I di dalam rantai
sanadnya. Imam Ahmad, Al-Iraqi, dan Al-Minawi sepakat menyebut Sulaiman sebagai
pendusta dan pemalsu hadits.
Ternyata hadits
yang selama ini sering kita jadikan dalih adalah hadits palsu.
Keenam, “Berpuasalah,
niscaya kalian akan sehat.” Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat
Ibnu Adi di dalam Al Kamil dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dai Ad Dhahhak dari
ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal karena dia pendusta dan Ad Dhahhak
tidak mendengarkan dari ibnu Abbas.
Diriwaatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad
bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih
dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah. Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya
(Zuhair bin Muhammad) jelek.”
Tidak bisa dipungkiri bahwa
puasa berdampak positif bagi kesehatan. Kini puasa banyak disarankan oleh para
pakar sebagai terapi penyembuhan. Namun, kita perlu hati-hati mensitir ungkapan di atas
sebagai hadits Nabi saw.
Catatan terakhir adalah jawaban Rasul Saw saat ditanya tentang resep
kesehatan beliau dan para sahabat, ”Kami adalah kaum yang tidak makan sehingga kami lapar dan apabila kami makan
tidak sampai kenyang.” Jawaban yang tidak
bertentangan dengan ilmu kesehatan. Tapi apakah itu benar sabda Nabi saw? Prof.
DR. KH. Ali Mustafa Yaqub telah menelusuri asal-usul hadis ini, tetapi tak
kunjung ditemui dalam kitab-kitab hadits.
Beliau malah menemukannya dalam kitab al-Rahmah Fitthib wal hikmah karya
Imam As-Suyuti. Ternyata hadits
di atas adalah jawaban seorang thabib dari Sudan saat ditanya oleh Kisra Persia tentang obat apa yang
paling manjur.
Kisah
di atas juga dinukil oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Madarij Al-Shu’ud.
Dengan ini cukuplah bagi para da’i sebuah hadits yang dianggap shohih oleh para ulama
seperti hadits
sepertiga untuk makanan, sepertiga minuman dan sepertiganya lagi untuk minuman
untuk disampaikan kepada jamaah agar tidak berlebih-lebihan dalam berbuka.
Untuk
lebih lengkapnya, para pembaca dapat menelaah hadits-hadits bermasalah seputar
Ramadhan dalam kitab Tahzhirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi Ad-Daifah
Haula Romadhon karya Syaikh Ibnu Umar Abdullah Muhammad Al-Hamadi, buku Hadits-hadits
Palsu Seputar Ramadhan karya Prof.KH. Ali Mustafa Yaqub, salah seorang
muhaddits ternama Indonesia, buku Sifat Puasa Nabi Sallallahu Alaihi wa
Sallam karya Syaikh Ali
Hasan Ali Abdul Hamid Saalim Al Hilali.
Tulisan ini banyak diambil dari referensi di atas.
Mengingat
betapa pentingnya menjaga diri agar tidak terjebak dalam menyampaikan berbagai
ungkapan atas nama Nabi saw dan mengingat para da’i adalah penyambung lidah Nabi saw, sungguh
tidak pantas apabila mereka enggan menyeleksi dalil-dalil yang mereka
sampaikan. Hadits-hadits bermasalah di atas sudah bergentayangan. Padahal para
ulama jauh-jauh hari sudah mengoreksinya lewat karya-karya mereka. Semoga semua
ini bukan kesengajaan karena “Barangsiapa yang berbohong atas atas namaku
secara sengaja, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”(Muttafaq Alaih)
Wallohu a’lam.
SHOLAT TARAWIH
Tulisan tentang tarawih ini hanya menggunakan sudut pandang hadis, yang disarikan dari buku Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan
karya Prof. Dr KH Ali Mustafa Yaqub, MA., guru di
Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, anggota komisi fatwa MUI, Imam
Besar Masjid Istiqlal, Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Alquran (IIQ)
Jakarta (semoga Allah selalu menjaganya)…
Tidak Ada Istilah “Tarawih”
Kata “tarawih” adalah bentuk plural dari kata “tarwihah”, yang secara
kebahasaan memiliki arti “ mengistirahatkan” atau “duduk istirahat”.
Maka dari sudut bahasa, salat tarawih adalah shalat yang banyak
istirahatnya. Kemudian, tarawih dalam nomenklatur Islam digunakan untuk
menyebut shalat sunah malam hari yang dilakukan hanya pada bulan
Ramadan.
Pada masa Rasul tidak ada istilah “salat tarawih”. Dalam
hadis-hadisnya, Rasul tidak pernah menyebut kata itu. Dan kata yang
digunakan adalah “qiyam ramadhan”. Tampaknya istilah “tarawih” muncul
dari penuturan Aisyah, isteri Rasul. Seperti diriwayatkan oleh Imam
Baihaqi, Aisyah mengatakan,
“Nabi salat malam empat rakaat, kemudian yatarawwahu (istirahat). Kemudian kembali salat. Panjang sekali salatnya.”
Dalil Tarawih 20 Rakaat Lemah
Di negeri kita, ada dua versi pelaksanaan salat tarawih, dua puluh rakaat dan delapan rakaat.
Rumusan dalil yang menjadi dasar pelaksanaan tarawih duapuluh rakaat
adalah hadis riwayat Imam Thabarani dan Imam Khatib Al-Baghdadi. Riwayat
itu,
Ibnu Abas bertutur, “Pada bulan Ramadan, Nabi Muhammad salat dua puluh rakaat dan witir.”
Hadis di atas, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah,
lemah sekali. Titik lemah hadis ini adalah pada salah satu periwayatnya
(dalam rangkaian sanad hadis ini) yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin
Utsman.
Menurut Imam Bukhari, para ulama tidak mau berkomentar tentang Abu Syaibah. Imam Tirmidzi menilai hadis Abu Syaibah munkar. Sedangkan Imam Nasai menilai matruk.
Bahkan Imam Syu’bah menilai Abu Syaibah sebagai pendusta. Dalam disipln
ilmu hadis, komentar-komentar miring seperti di atas memberikan
implikasi yang bersangkutan jika meriwayatkan hadis, maka status hadis
itu menjadi tidak valid.
Maka, hadis riwayat Ibnu Abas di atas dapat dikategorikan sebagai hadis palsu atau minimal matruk (semi
palsu), karena ada rawi pendusta (Abu Syaibah) dalam rangkaian
sanadnya. Pada gilirannya, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil
untuk salat tarawih dua puluh rakaat. Dengan kata lain, apabila kita
salat tarawih dua puluh rakaat atas dasar dalil hadis di atas, maka kita
telah malakukan kekeliruan.
Dalil Tarawih 8 Rakaat Juga Lemah
Hadis yang diindikasikan sebagai dalil salat tarawih delapan rakaat adalah hadis yang disebutkan dalam kitab Shahih IbnuHibban sebagai berikut,
Jabir bin Abdullah berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi lalu berkata, “Rasul, tadi malam (bulan Ramadan) aku melakukan sesuatu.” Kata Nabi, “Apa itu?” Ubay menjawab, “Para wanita di rumahku tidak ada yang bisa baca Alquran. Mereka memintaku menjadi imam salat. Kemudian kami salat delapan rakaat ditambah witir.” Rasul diam saja mendegar penuturan Ubay. Jabir menganggap Nabi memperkenankan apa yang telah dilakukan oleh Ubay.
Kualitas hadis ini sangat lemah, sebab dalam rangkaian sanadnya
terdapat salah seorang periwayat yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut
para ahli kritik hadis papan atas, seperti Imam Nasai dan Imam Ibnu
Main, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Isa bin Jariyah kualitasnya
lemah. Imam Nasai menilai hadisnya matruk (palsu, karena diriwayatkan oleh pendusta). Hadis ini pun gugur sebagai dalil tarawih delapan rakaat.
Ada juga hadis lain tentang salat tarawih delapan rakaat, bahkan
lebih kongkrit dari hadis di atas, yang diriwayatkan oleh Ja’far bin
Humaid dari Jabir bin Abdullah,
“Nabi pernah mengimami kami salat pada satu malam Ramadan dengan delapan rakaat.”
Tapi sayang, hadis ini kualitasnya sama dengan hadis di atas, sebab
hadis ini juga diriwayatkan oleh Isa bin Jariyah yang hadisnya dinilai matruk .
Dengan demikian, dalil salat tarawih delapan rakaat tidak memiliki sandaran nash yang kuat.
Hadis Shahih Ini Bukan Dalil Salat Tarawih
Hadis Imam Bukhari dan lain-lain yang diriwayatkan oleh Aisyah di
bawah ini kerap dijadikan dalil oleh sebagian kalangan yang menganut
tarawih delapan rakaat,
Rasul tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan atau selainnya. Beliau salat empat rakaat. Tak perlu ditanyakan lagi, betapa bagus dan panjang salatnya itu. Setelah salam, ia kembali salat empat rakaat. Setelah itu, ia mengakhiri dengan salat tiga rakaat. Aisyah bertanya, “Rasul, apakah Engkau tidur sebelum melaksanakan salat witir?” Jawab Rasul, “Aisyah, matakau boleh tidur. Tapi tidak dengan hatiku.”
Benarkan hadis itu merupakan dalil salat tarawih delapan rakaat?
Pada hadis tersebut, Aisyah dengan gamblang menyatakan, Nabi tidak
pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan maupun
selainnya, alias sepanjang tahun. Salat yang dilakukan setiap malam
sepanjang tahun, tentunya bukan salat tarawih. Sebab salat tarawih hanya
dilaksanakan pada malam bulan Ramadan.
Oleh karen itu, para ulama berpendapat, hadis Aisyah di atas
berbicara tentang salat witir, bukan salat tarawih. Para ulama umumnya
juga menempatkan hadis itu pada bab salat witir atau salat malam, bukan
pada bab salat tarawih, seperti Al-Qadhi ‘Iyadh dan Imam Nawawi. Imam
Ibnu Hajar juga menempatkan hadis di atas dalam konteks salat witir.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dauwd dari Aisyah di bawah ini bisa menjadi peneguh pendapat di atas,
Rasulullah salat malam tiga belas rakaat, terdiri dari salat witir dan dua rakaat fajar.
Tarawih Tidak Berorientasi Angka
Justeru, hadis shahih tentang salat tarawih atau “qiyam Ramadan”
tidak memberikan batasan jumlah rakaat yang pasti, tidak berorientasi
sedikit atau banyaknya jumlah rakaat salat. Hadis tersebut diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, yaitu,
“Siapa yang menjalankan “qiyam Ramadan” karena iman kepada Allah dan mengharap pahala kepada-Nya, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan terampuni.”
Pada hadis itu, Nabi sama sekali tidak menyinggung bilangan rakaat
salat apalagi membatasinya. Kuantitas bukan orientasi utama dalam salat
tarawih, tapi yang mesti diutamakan adalah kualitas. Jadi, mau salat
tarawih empat rakaat silakan, enam rakaat monggo, delapan rakaat tidak
mengapa, dua puluh rakaat mbonten nopo-nopo, atau bahkan lima puluh,
seratus dan seterusnya, dengan catatan tetap menjaga kualitas; ikhlas,
khusu’, baik, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
عن ابن عباس قال، كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان عشرين ركعة والوتر.
عن جابر بن عبد الله، قال: جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله
عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان.
قال: وما ذاك يا أبي؟ قال: نسوة في داري قلن إنا لا نقرأ القرأن، فنصلي
بصلاتك. قال: قصليت بهن ثماني ركعات ثم أوترت. قال: فكان شبيه الرضا ولم
يقل شيئا.
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة في رمضان ثماني ركعات والوتر.
ما كان رسول الله صلى الله يزيد في رمضان ولا في غيره علىإحدى
عشرة ركعة. يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل
عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا. قالت عائشة رضي الله عنها، فقلت: يا رسول
الله، أتنام قبل أن توتر؟ قال: يا عائشة، إن عيني تنامان ولا ينام قلبي.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة، منها الوتر وركعتا الفجر.
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه.