@li

Rabu, 11 Juni 2014

SEPUTAR RAMADHAN







HADITS-HADITS DHAIF SEPUTAR RAMADHAN

Menjelang bulan suci Ramadhan, kita perlu menyiapkan fisik, mental, dan keilmuan dalam menyambutnya. Kesiapan fisik dengan menjaga kebugaran tubuh atau berkonsultasi ke dokter bagi yang mengalami sedikit problem dalam tubuhnya. Kesiapan mental berupa penataan hati agar gembira menyambutnya. Terakhir, kesiapan ilmu dengan memahami fiqih puasa dan hukum-hukumnya.
Menyiapkan poin terakhir tidak hanya bagi masyarakat awam, tapi juga bagi para ustadz, dai atau muballigh. Mereka harus membekali diri dengan pengetahuan yang optimal seputar hukum puasa, agar dalam menyampaikan materi dakwah berdasarkan ilmu dan analisa. Sebab, pada kenyataannya, para dai banyak yang kurang teliti dan hati-hati dalam menyampaikan ilmunya. Contoh yang dikritisi pada artikel ini adalah dalam masalah mengutip hadits Nabi saw.
Telah dimaklumi kegigihan para ulama hadits (Muhadditsin) dalam menghimpun hadits Rasulullah saw dan membukukannya merupakan sumbangsih terbesar setelah pembukuan Al-Qur’an. Sebab,  Hadits Nabawi adalah referensi hukum kedua setelah kitabullah. Para muhadditsin dengan metodologi yang sangat cermat dan teliti berusaha mensterilkan big project mereka dari virus-virus hadits maudhu’ dan dhaif agar  sunnah Nabawiah tetap terpelihara keotientikannya.
Pada bulan Ramadhan, ternyata para dai kita tanpa disadari banyak menyepelekan jerih payah para muhadditsin di atas. Mereka tanpa beban kerap mensitir hadits-hadits dhoif bahkan maudhu’ tanpa mengklarifikasi derajat haditsnya. Pada akhirnya hadits-hadits tersebut begitu mudahnya diterima oleh masyarakat kita.
Pertama Contoh kasus seperti doa, ”Allohumma barik lana fi Rojaba wa Sya’bana wa balligna Romadhona.”(HR. ahmad, At-Tobroni, Al-Bazzar dan Al-Baihaqi). Hadits ini ternyata sangat lemah.  Ia  diriwayatkan hanya melalui satu jalur saja yaitu dari Zaidah bin Abiroqqod. Ia adalah sumber cacat hadits ini. Imam Al-Bukhori, An-Nasa’I dan Ibnu Hajar menyebutnya sebagai mungkarul hadits artinya seorang yang amat fatal kesalahannya, pelupa, dan jelas kefasikannya.  Setidaknya para dai bila ingin terus memakai doa ini, hendaklah tanpa menisbatkannya kepada Rasulullah saw atau sebagai pelajaran dengan menyertakan derajat haditsnya. Tentu itu lebih selamat. Demikian menurut Imam Ibnu Hibban.
Hadits Kedua “permulaan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya magfiroh dan penghabisannya adalah pembebasan dari neraka.” (HR. Addailamy dan Ibnu ‘Asakir). Ungkapan yang sangat masyhur ini selalu didengungkan oleh para dai tapi sedikitpun mereka tidak pernah menyertakan kualitas haditsnya. Menurut Imam As-Suyuti dan al-Hafizh Ibnu Hajar, hadits ini amat lemah. Sedang menurut Syeikh Albani, hadits ini mungkar. Otak masalahnya adalah karena terdapat dua orang perawi yaitu Sallam bin Sawwar dan Maslamah Bin Al-Salt. Perawi pertama adalah seorang mungkarul hadis menurut Ibnu ‘Adi. Adapun Imam Khotib Al-Bagdadi menegaskan tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.  Adapun Maslamah juga setali tiga uang dengan Sallam bin Sawwar.
Berpedoman dengan hadits mungkar di atas, otomatis menyetujui klasifikasi Ramadhan menjadi 3 bagian, padahal Ramadhan tidak mengenal pengklasifikasian seperti itu (rahmat, magfiroh, dan pembebasan dari neraka). Ramadhan adalah bulan yang menghimpun tiga keutamaan itu dari awal sampai akhirnya.
Ketiga:Sedekah paling baik adalah bersedekah pada bulan Ramadhan.” Hadits yang sebenarnya panjang ini diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Al-Baihaqi dari jalur Sodaqoh bin Musa. Imam Abu Hatim menganggapnya terlalu lunak walaupun haditsnya ditulis tapi tidak bisa dipakai berdalil.  Imam Tirmizi sendiri memiliki komentar miring terhadap Sadaqoh. Alangkah baiknya para dai dan penceramah tidak menggunakan hadits ini sebagai dalil kecuali bila disertai dengan menyebut komentar para ulama.
Keempat yang tak kalah masyhur, ”Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, ”seandainya ummatku mengetahui pahala ibadah bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar Ramadhan menjadi satu tahun penuh.” Hadits yang dikutip oleh Syaikh Usman al-Khubari dalam kitabnya, Durroh An-Nasihin, sebuah kitab yang banyak dikritik oleh para muhadditsin karena kandungan hadits-hadits lemah, palsu, dan kisah-kisah imajinatif (DR. Luthfi Fathullah telah menghimpun semuanya menjadi sebuah buku).
Hadits yang  sebenarnya panjang ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, Al-Baihaqi dan Abu ya’la. Matannya berisi janji muluk-muluk diantaranya bahwa siapapun yang berpuasa Ramadhan sehari, ia akan beristrikan seorang bidadari dengan diskripsi yang sangat elok. Secara keseluruhan terdapat musykil di dalam hadits ini, baik dari segi matan dan sanadnya. Dalam sanadnya terdapat Jarir bin Ayyub Al-Bajali yang oleh Imam Ibnu Jauzi dinilai pemalsu hadits, matruk dan mungkar. Tiga predikat tadi memperparah derajat hadits ini. Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan menilai  Jarir masyhur dengan kelemahannya. Sebenarnya Imam Ibnu Khuzaimah pun ragu akan keshahihannya. Terbukti beliau menambahkan catatan “jika hadits ini shahih”, setelah menulisnya.
Kelima, Ungkapan yang paling rada aneh lalu dianggap hadits adalah, ”Tidurnya orang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya berlipat ganda, doanya makbul, dan dosanya diampuni.” (HR. Al-Baihaqi) Kalimat  pertama kerap dijadikan dalih bagi para pemalas yang menghabiskan waktunya dengan tidur-tiduran. Adapun kalimat berikutnya tak pernah disebut-sebut.  Oleh Imam Al-Baihaqi sendiri, beliau menilai hadits ini dhoif karena terdapat Ma’ruf bin Hisan dan Sulaiman bin Amr Al Nakha’I di dalam rantai sanadnya. Imam Ahmad, Al-Iraqi, dan Al-Minawi sepakat menyebut Sulaiman sebagai pendusta dan pemalsu hadits. Ternyata hadits yang selama ini sering kita jadikan dalih adalah hadits palsu.
Keenam, “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al Kamil dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dai Ad Dhahhak dari ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal karena dia pendusta dan Ad Dhahhak tidak mendengarkan dari ibnu Abbas. Diriwaatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah. Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya (Zuhair bin Muhammad) jelek.”
Tidak bisa dipungkiri bahwa puasa berdampak positif bagi kesehatan. Kini puasa banyak disarankan oleh para pakar sebagai terapi penyembuhan. Namun, kita perlu hati-hati mensitir ungkapan di atas sebagai hadits Nabi saw.
Catatan terakhir adalah jawaban Rasul Saw saat ditanya tentang resep kesehatan beliau dan para sahabat, ”Kami adalah kaum yang tidak makan  sehingga kami lapar dan apabila kami makan tidak sampai kenyang.Jawaban yang tidak bertentangan dengan ilmu kesehatan. Tapi apakah itu benar sabda Nabi saw? Prof. DR. KH. Ali Mustafa Yaqub telah menelusuri asal-usul hadis ini, tetapi tak kunjung ditemui dalam kitab-kitab hadits. Beliau malah menemukannya dalam kitab al-Rahmah Fitthib wal hikmah karya Imam As-Suyuti. Ternyata  hadits di atas adalah jawaban seorang thabib dari Sudan saat ditanya  oleh Kisra Persia tentang obat apa yang paling manjur.
Kisah di atas juga dinukil oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Madarij Al-Shu’ud. Dengan ini cukuplah bagi para da’i sebuah hadits yang dianggap shohih oleh para ulama seperti hadits sepertiga untuk makanan, sepertiga minuman dan sepertiganya lagi untuk minuman untuk disampaikan kepada jamaah agar tidak berlebih-lebihan dalam berbuka.
Untuk lebih lengkapnya, para pembaca dapat menelaah hadits-hadits bermasalah seputar Ramadhan dalam kitab Tahzhirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi Ad-Daifah Haula Romadhon karya Syaikh Ibnu Umar Abdullah Muhammad Al-Hamadi, buku Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan karya Prof.KH. Ali Mustafa Yaqub, salah seorang muhaddits ternama Indonesia, buku Sifat Puasa Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Saalim Al Hilali. Tulisan ini banyak diambil dari referensi di atas.
Mengingat betapa pentingnya menjaga diri agar tidak terjebak dalam menyampaikan berbagai ungkapan atas nama Nabi saw dan mengingat para dai adalah penyambung lidah Nabi saw, sungguh tidak pantas apabila mereka enggan menyeleksi dalil-dalil yang mereka sampaikan. Hadits-hadits bermasalah di atas sudah bergentayangan. Padahal para ulama jauh-jauh hari sudah mengoreksinya lewat karya-karya mereka. Semoga semua ini bukan kesengajaan karena “Barangsiapa yang berbohong atas atas namaku secara sengaja, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”(Muttafaq Alaih) Wallohu a’lam.   

 SHOLAT TARAWIH

Tulisan tentang tarawih ini hanya menggunakan sudut pandang hadis, yang disarikan dari buku Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan karya Prof. Dr KH Ali Mustafa Yaqub, MA., guru di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, anggota komisi fatwa MUI, Imam Besar Masjid Istiqlal, Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta (semoga Allah selalu menjaganya)…
Tidak Ada Istilah “Tarawih”
Kata “tarawih” adalah bentuk plural dari kata “tarwihah”, yang secara kebahasaan memiliki arti “ mengistirahatkan” atau “duduk istirahat”. Maka dari sudut bahasa, salat tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya. Kemudian, tarawih dalam nomenklatur Islam digunakan untuk menyebut shalat sunah malam hari yang dilakukan hanya pada bulan Ramadan.
Pada masa Rasul tidak ada istilah “salat tarawih”. Dalam hadis-hadisnya, Rasul tidak pernah menyebut kata itu. Dan kata yang digunakan adalah “qiyam ramadhan”. Tampaknya istilah “tarawih” muncul dari penuturan Aisyah, isteri Rasul. Seperti diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Aisyah mengatakan,
“Nabi salat malam empat rakaat, kemudian yatarawwahu (istirahat). Kemudian kembali salat. Panjang sekali salatnya.”
Dalil Tarawih 20 Rakaat Lemah
Di negeri kita, ada dua versi pelaksanaan salat tarawih, dua puluh rakaat dan delapan rakaat.
Rumusan dalil yang menjadi dasar pelaksanaan tarawih duapuluh rakaat adalah hadis riwayat Imam Thabarani dan Imam Khatib Al-Baghdadi. Riwayat itu,
Ibnu Abas bertutur, “Pada bulan Ramadan, Nabi Muhammad salat dua puluh rakaat dan witir.”
Hadis di atas, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, lemah sekali. Titik lemah hadis ini adalah pada salah satu periwayatnya (dalam rangkaian sanad hadis ini) yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman.
Menurut Imam Bukhari, para ulama tidak mau berkomentar tentang Abu Syaibah. Imam Tirmidzi menilai hadis Abu Syaibah munkar. Sedangkan Imam Nasai menilai matruk. Bahkan Imam Syu’bah menilai Abu Syaibah sebagai pendusta. Dalam disipln ilmu hadis, komentar-komentar miring seperti di atas memberikan implikasi yang bersangkutan jika meriwayatkan hadis, maka status hadis itu menjadi tidak valid.
Maka, hadis riwayat Ibnu Abas di atas dapat dikategorikan sebagai hadis palsu atau minimal matruk (semi palsu), karena ada rawi pendusta (Abu Syaibah) dalam rangkaian sanadnya. Pada gilirannya, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil untuk salat tarawih dua puluh rakaat. Dengan kata lain, apabila kita salat tarawih dua puluh rakaat atas dasar dalil hadis di atas, maka kita telah malakukan kekeliruan.
Dalil Tarawih 8 Rakaat Juga Lemah
Hadis yang diindikasikan sebagai dalil salat tarawih delapan rakaat adalah hadis yang disebutkan dalam kitab Shahih IbnuHibban sebagai berikut,
Jabir bin Abdullah berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi lalu berkata, “Rasul, tadi malam (bulan Ramadan) aku melakukan sesuatu.” Kata Nabi, “Apa itu?” Ubay menjawab, “Para wanita di rumahku tidak ada yang bisa baca Alquran. Mereka memintaku menjadi imam salat. Kemudian kami salat delapan rakaat ditambah witir.” Rasul diam saja mendegar penuturan Ubay. Jabir menganggap Nabi memperkenankan apa yang telah dilakukan oleh Ubay.
Kualitas hadis ini sangat lemah, sebab dalam rangkaian sanadnya terdapat salah seorang periwayat yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut para ahli kritik hadis papan atas, seperti Imam Nasai dan Imam Ibnu Main, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Isa bin Jariyah kualitasnya lemah. Imam Nasai menilai hadisnya matruk (palsu, karena diriwayatkan oleh pendusta). Hadis ini pun gugur sebagai dalil tarawih delapan rakaat.
Ada juga hadis lain tentang salat tarawih delapan rakaat, bahkan lebih kongkrit dari hadis di atas, yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Humaid dari Jabir bin Abdullah,
“Nabi pernah mengimami kami salat pada satu malam Ramadan dengan delapan rakaat.”
Tapi sayang, hadis ini kualitasnya sama dengan hadis di atas, sebab hadis ini juga diriwayatkan oleh Isa bin Jariyah yang hadisnya dinilai matruk .
Dengan demikian, dalil salat tarawih delapan rakaat tidak memiliki sandaran nash yang kuat.
Hadis Shahih Ini Bukan Dalil Salat Tarawih
Hadis Imam Bukhari dan lain-lain yang diriwayatkan oleh Aisyah di bawah ini kerap dijadikan dalil oleh sebagian kalangan yang menganut tarawih delapan rakaat,
Rasul tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan atau selainnya. Beliau salat empat rakaat. Tak perlu ditanyakan lagi, betapa bagus dan panjang salatnya itu. Setelah salam, ia kembali salat empat rakaat. Setelah itu, ia mengakhiri dengan salat tiga rakaat. Aisyah bertanya, “Rasul, apakah Engkau tidur sebelum melaksanakan salat witir?” Jawab Rasul, “Aisyah, matakau boleh tidur. Tapi tidak dengan hatiku.”
Benarkan hadis itu merupakan dalil salat tarawih delapan rakaat?
Pada hadis tersebut, Aisyah dengan gamblang menyatakan, Nabi tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan maupun selainnya, alias sepanjang tahun. Salat yang dilakukan setiap malam sepanjang tahun, tentunya bukan salat tarawih. Sebab salat tarawih hanya dilaksanakan pada malam bulan Ramadan.
Oleh karen itu, para ulama berpendapat, hadis Aisyah di atas berbicara tentang salat witir, bukan salat tarawih. Para ulama umumnya juga menempatkan hadis itu pada bab salat witir atau salat malam, bukan pada bab salat tarawih, seperti Al-Qadhi ‘Iyadh dan Imam Nawawi. Imam Ibnu Hajar juga menempatkan hadis di atas dalam konteks salat witir.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dauwd dari Aisyah di bawah ini bisa menjadi peneguh pendapat di atas,
Rasulullah salat malam tiga belas rakaat, terdiri dari salat witir dan dua rakaat fajar.
Tarawih Tidak Berorientasi Angka
Justeru, hadis shahih tentang salat tarawih atau “qiyam Ramadan” tidak memberikan batasan jumlah rakaat yang pasti, tidak berorientasi sedikit atau banyaknya jumlah rakaat salat. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu,
“Siapa yang menjalankan “qiyam Ramadan” karena iman kepada Allah dan mengharap pahala kepada-Nya, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan terampuni.”
Pada hadis itu, Nabi sama sekali tidak menyinggung bilangan rakaat salat apalagi membatasinya. Kuantitas bukan orientasi utama dalam salat tarawih, tapi yang mesti diutamakan adalah kualitas. Jadi, mau salat tarawih empat rakaat silakan, enam rakaat monggo, delapan rakaat tidak mengapa, dua puluh rakaat mbonten nopo-nopo, atau bahkan lima puluh, seratus dan seterusnya, dengan catatan tetap menjaga kualitas; ikhlas, khusu’, baik, dan sebagainya. Wallahu a’lam.

عن ابن عباس قال، كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان عشرين ركعة والوتر.

عن جابر بن عبد الله، قال: جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان. قال: وما ذاك يا أبي؟ قال: نسوة في داري قلن إنا لا نقرأ القرأن، فنصلي بصلاتك. قال: قصليت بهن ثماني ركعات ثم أوترت. قال: فكان شبيه الرضا ولم يقل شيئا.

صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة في رمضان ثماني ركعات والوتر.

ما كان رسول الله صلى الله يزيد في رمضان ولا في غيره علىإحدى عشرة ركعة. يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا. قالت عائشة رضي الله عنها، فقلت: يا رسول الله، أتنام قبل أن توتر؟ قال: يا عائشة، إن عيني تنامان ولا ينام قلبي.

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة، منها الوتر وركعتا الفجر.

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه.